Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 26 merupakan pemotongan atas penghasilan dengan nama dan dalam bentuk apa pun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo pembayarannya kepada Wajib Pajak luar negeri (WPLN) selain bentuk usaha tetap (BUT) di Indonesia.
Subjek PPh Pasal 26
Yang menjadi subjek pemotongan withholding tax PPh Pasal 26 adalah WPLN selain BUT. Meskipun BUT merupakan subjek pajak luar negeri, pengenaan pajaknya diperlakukan seperti badan usaha dalam negeri, sehingga penghasilan yang diterima tidak dipotong PPh Pasal 26.
Pemotongan dapat dilakukan badan pemerintah, Subjek Pajak dalam negeri, penyelenggara kegiatan, BUT, maupun perwakilan perusahaan luar negeri lainnya yang melakukan pembayaran kepada WPLN selain bentuk usaha tetap di Indonesia.
Objek Pemotongan PPh Pasal 26
Objek dari PPh Pasal 26 adalah penghasilan yang diterima oleh WPLN. Penghasilan yang dipotong PPh Pasal 26 dapat dibagi menjadi lima kelompok.
Penghasilan yang Dibayarkan kepada WPLN
Penghasilan yang dibayarkan ke WPLN dapat berupa dividen, bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan jaminan pengembalian hutang, royalti, sewa, penghasilan penggunaan harta, imbalan sehubungan jasa dan kegiatan, hadiah dan penghargaan, pensiun, premi swap dan transaksi lindung nilai lainnya, dan keuntungan karena pembebasan utang. Atas penghasilan di atas, akan dipotong pajak dengan penghitungan sebagai berikut:
PPh Pasal 26 = 20% x penghasilan bruto
Berikut adalah ulasan mengenai pemajakan atas dividen, bunga, dan royalti sesuai ketentuan tax treaty.
Penghasilan dari Penjualan atau Pengalihan Harta di Indonesia
PPh Pasal 26 dikenakan atas penjualan/pengalihan harta oleh WPLN. Harta yang dimaksud berupa perhiasan mewah, berlian, emas, intan, jam tangan mewah, barang antik, lukisan, mobil, motor, kapal pesiar, dan/atau pesawat terbang ringan. Sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 82 Tahun 2009, tarif yang dikenakan adalah 20% dari perkiraan penghasilan neto, yakni 25%. Dengan demikian tarif efektif yang berlaku adalah:
PPh Pasal 26 atas penjualan /pengalihan harta di Indonesia = 5% x harga jual
Artikel berikut membahas ketentuan dan cara hitung PPh Pasal 26 atas penghasilan dari penjualan/pengalihan harta oleh WPLN.
Penjualan Saham oleh WPLN
Penjualan saham PT di dalam negeri dan tidak berstatus sebagai emiten atau perusahaan publik dikenakan pajak dengan penghitungan sebagai berikut:
PPh Pasal 26 atas Penjualan Saham oleh WPLN = 5% x harga jual
Tarif di atas merupakan tarif efektif yang berasal dari tarif umum (20%) dikalikan perkiraan penghasilan neto, yakni 25% dari harga jual (sesuai ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 434 Tahun 1999). Baca artikel berikut ini untuk mengetahui penghitungan serta administrasi pemotongan pajak atas penjualan saham oleh WPLN.
Premi Asuransi/Reasuransi
Premi asuransi atau reasuransi yang dibayarkan kepada perusahaan asuransi di luar negeri akan dipotong pajak. Tarif yang berlaku adalah 20% dari perkiraan penghasilan neto. Sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor 624 Tahun 1994, perkiraan penghasilan neto dilihat berdasarkan pihak yang membayarkan premi. Pembayaran premi dapat dilakukan langsung oleh tertanggung, perusahaan asuransi, maupun perusahaan reasuransi. Berikut ini adalah ulasan mengenai PPh Pasal 26 atas pembayaran premi asuransi/reasuransi ke luar negeri.
Laba atas BUT atau Branch Profit Tax
Laba atas BUT yang tidak diinvestasikan kembali di Indonesia akan dikenakan pajak. Penghitungan branch profit tax adalah:
PPh Pasal 26 atas Laba BUT = 20% x Laba Setelah Pajak
Penghasilan tersebut dapat dikecualikan dari pengenaan pajak jika memenuhi syarat yang telah ditentukan. Berikut adalah pembahasan mengenai ketentuan serta cara menghitung branch profit tax.
Administrasi Pemotongan, Penyetoran, dan Pelaporan PPh Pasal 26
Pemotongan PPh Pasal 26 terutang dilakukan pada akhir bulan dibayarkannya penghasilan, disediakan untuk dibayarkannya penghasilan, atau jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan. Pemotongan dilakukan tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Pemotong wajib membuat bukti atas pajak yang telah dipotong. Bukti potong dibuat melalui aplikasi e-Bupot Unifikasi. Setelah membuat bukti potong, PPh Pasal 26 yang telah dipotong disetor ke bank persepsi paling lambat tanggal 10 di bulan berikutnya. Selanjutnya, pemotong melaporkan pemotongan tersebut melalui SPT Masa PPh Unifikasi paling lambat tanggal 20 di bulan berikutnya. Ikuti langkah berikut ini untuk melaporkan SPT PPh Unifikasi lewat e-Bupot DJP Online.
Perlu dicatat, apabila PPh 26 yang dipotong berkaitan dengan imbalan jasa yang diberikan kepada WP OP luar negeri, administrasi masih dilakukan menggunakan e-SPT PPh Pasal 21/26.
Kaitan dengan Tax Treaty
PPh Pasal 26 tidak serta merta dapat dikenakan atas penghasilan yang dibayarkan ke luar negeri. Pemotongan pajak perlu memperhatikan ketentuan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau tax treaty, karena tax treaty bersifat lex specialis atas ketentuan UU PPh.
Tax treaty perjanjian antara Pemerintah Indonesia dengan pemerintah negara mitra atau yurisdiksi mitra untuk mencegah terjadinya pengenaan pajak berganda dan pengelakan pajak. Adapun beberapa jenis penghasilan yang dapat diatur dalam tax treaty adalah:
- active income, atau penghasilan yang berasal dari kegiatan usaha dan pekerjaan. Contohnya penghasilan kegiatan bisnis, penghasilan atas hubungan kerja, dan penghasilan dari pemberi jasa profesi yang dilakukan oleh individu;
- passive income, yakni penghasilan yang berasal dari investasi dalam bentuk tangible maupun intangible properties; dan
- other income, atau penghasilan yang tidak dapat digolongkan berdasarkan kedua penggolongan yang telah disebutkan.
Pemotong perlu melakukan analisis apakah Indonesia memiliki hak pemajakan atas penghasilan yang dibayarkan kepada WPLN. Jika menurut tax treaty terdapat hak pemajakan di Indonesia, pemotong dapat melakukan pemotongan pajak sesuai dengan ketentuan domestik yang berlaku.
Dengan menerapkan ketentuan tax treaty, WPLN mungkin tidak dipotong pajak atau dipotong dengan tarif yang lebih rendah dibandingkan dengan ketentuan domestik. Terdapat beberapa syarat untuk memanfaatkan tax treaty, yaitu:
- penerima penghasilan bukan subjek pajak dalam negeri Indonesia;
- penerima penghasilan merupakan orang pribadi atau badan yang merupakan subjek pajak dalam negeri dari negara mitra atau yurisdiksi mitra P3B;
- tidak terjadi penyalahgunaan P3B; dan
- penerima penghasilan merupakan beneficial owner, dalam hal dipersyaratkan dalam P3B.
Hal tersebut diatur secara mendetail melalui Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-25/PJ/2018.